Beranda Quotes Ketika Rizeki Membuat Jarak Sosial dan Melemahkan Ukhuwah

Ketika Rizeki Membuat Jarak Sosial dan Melemahkan Ukhuwah

63
0
Ketika Rizeki Membuat Jarak Sosial dan Melemahkan Ukhuwah

Rezeki: Ujian yang Tidak Selalu Berbentuk Kesempitan

Di tengah kehidupan masyarakat yang awalnya hidup rukun, guyub, dan saling membaur, muncul fenomena memilukan: saat sebagian mendapat anugerah berupa rezeki lebih—seperti rumah bertingkat, mobil mewah, atau penghasilan besar—justru hubungan sosial menjadi renggang. Yang dulu satu meja makan di warung, kini enggan sekadar menyapa. Yang dahulu ringan membantu, kini sibuk mengatur jarak.

Padahal, rezeki bukan hanya amanah, tapi juga ujian.

Allah ﷻ berfirman:

“Kemudian kamu benar-benar akan ditanya pada hari itu tentang nikmat (yang diberikan kepadamu).”
(QS. At-Takatsur: 8)

Setiap bentuk nikmat, termasuk harta, akan dimintai pertanggungjawaban. Maka sangat ironis jika nikmat dunia yang semestinya menguatkan tali persaudaraan malah menjadi tembok pemisah antar sesama.


Ukhuwah: Hakikat Kebersamaan yang Diuji oleh Harta

Islam mengajarkan pentingnya ukhuwah Islamiyah—persaudaraan yang lahir karena keimanan, bukan karena status sosial. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Perumpamaan kaum mukminin dalam saling mencintai, menyayangi, dan berlemah lembut adalah seperti satu tubuh. Bila satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh merasakan sakitnya dengan tidak bisa tidur dan demam.”
(HR. Muslim)

Namun, kini kita melihat: harta justru menjadikan sebagian kita seperti berada di “kelas sosial” yang berbeda. Rumah berpagar tinggi seolah menandakan eksklusivitas. Mobil pribadi membuat kita lupa pada tetangga yang berjalan kaki. Pesta mewah menghapus kepekaan pada anak yatim yang lapar.


Ulama Mengingatkan: Harta Adalah Amanah untuk Dimanfaatkan, Bukan Disombongkan

Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menekankan bahwa harta bukan untuk dibangga-banggakan, tapi sebagai alat untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Ia menulis:

“Orang yang cerdas adalah yang menjadikan hartanya sebagai kendaraan menuju akhirat, bukan sebagai perhiasan dunia yang melalaikan.”

Begitu juga Sayyid Quthb rahimahullah mengatakan dalam Fi Zhilalil Qur’an bahwa:

“Nikmat dunia yang tidak digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah, pada hakikatnya hanyalah istidraj—pemberian yang menjerumuskan.”


Rezeki Semestinya Mendekatkan Kita pada Sesama, Bukan Menjauhkan

Bayangkan jika harta yang kita miliki menjadi jalan untuk:

  • Membuka warung sedekah bagi tetangga yang kekurangan.
  • Memberikan tumpangan bagi yang tak punya kendaraan.
  • Merenovasi masjid dengan dana pribadi.
  • Menghidupkan malam dengan kegiatan keagamaan di rumah yang luas.

Inilah makna sejati dari syukur nikmat: menjadikan kelebihan kita sebagai wasilah untuk mempererat hubungan sosial dan memperbanyak amal.


Pertanyaan Muhasabah: Sudahkah Kita Gunakan Nikmat Rezeki dengan Bijak?

  1. Apakah rumah kita terbuka bagi tetangga dan saudara yang membutuhkan?
  2. Apakah kendaraan kita pernah digunakan untuk menjemput kebaikan?
  3. Apakah hati kita makin lembut atau justru makin keras setelah diberi kelebihan?
  4. Apakah rezeki kita semakin mendekatkan pada Allah atau menjauhkan dari masyarakat?

Penutup: Mari Kembali pada Kesederhanaan Jiwa

Rezeki bukan untuk meninggi, tapi untuk merendah—agar bisa mengangkat yang di bawah. Jangan sampai harta membuat kita asing di tengah masyarakat sendiri. Mari kita jaga ukhuwah, perkuat silaturahmi, dan gunakan nikmat Allah untuk mendekatkan diri pada-Nya dan sesama.

Sebagaimana firman-Nya:

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.”
(QS. Al-Ma’idah: 2)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini