Oleh : Ust Ahmad Sajali Yusup, S.Pd.I
Ketua DKM Masjid Jami An-Nur Kebon Kopi Cibarusah Jaya
Kalau air laut dijadikan tinta dan ranting-ranting dijadikan pena untuk menulis ilmu Allah, maka ilmu Allah tidak akan habis karenanya. Lalu berapakah air yang sudah engkau jadikan tinta dan berapa banyakkah ranting yang engkau jadikan pena untuk menulis ilmu Allah?
Allah SWT berfirman:
“Katakanlah: ‘Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh akan habis lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).'” (QS. Al-Kahfi: 109)
Mencari ilmu tidak berbatas usia dan tidak mengenal batas akhir. Orang-orang yang keluar rumah untuk mempelajari ilmu Allah, begitu juga orang-orang yang mengajarkannya, akan dimudahkan jalan menuju surga.
Menuntut ilmu menjadi salah satu kewajiban bagi manusia sejak lahir hingga masuk liang lahat. Kewajiban dan hak belajar itu tidak hanya di sekolah, bisa juga di lingkungan sekitar. Di mana pun kita berada, dari siapa pun, dan kapan pun kita harus selalu belajar banyak hal. Bahkan sejak sebelum lahir, manusia telah mulai belajar tentang cinta dari ibunya yang jatuh cinta kepada buah hatinya itu sejak mengetahui telah tumbuh janin di dalam kandungannya.
Dalam hadits dijelaskan tentang keutamaan menuntut ilmu. Terutama ilmu-ilmu yang membuat kita semakin ingat dan bersyukur kepada Allah. Seperti dalam sabda Rasulullah SAW berikut:
“Barang siapa menempuh satu jalan (cara) untuk mendapatkan ilmu, maka Allah pasti mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)
Hadis tersebut menyebut seseorang yang sedang berjalan untuk menuntut ilmu dengan kata “salaka”. Padahal, berjalan dalam bahasa Arab tidak hanya “salaka”, masih ada kata “masya”, “sara”, “safara”, atau “dzahaba”.
Pertanyaannya, mengapa kata “salaka” yang dipilih Nabi, bukan selainnya? Rupanya, kata-kata selain “salaka” hanya mempunyai arti utama berjalan. Perjalannya, terkadang, hanya untuk mencari kesenangan belaka. Mungkin, pembaca pernah mendengar, orang yang berjalan untuk mencari hiburan disebut dengan “tamasya”. Kata tersebut berasal dari kata “masya”. Jika Nabi menggunakan kata ini, niscaya orang yang menuntut ilmu ini hanya akan mencari kesenangan belaka. Padahal, perjalanan mencari ilmu bukanlah untuk mencari kesenangan.
Allah SWT berfirman:
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)
Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga, ada empat makna sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Rajab Al-Hambali di dalam Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam:
- Dengan menempuh jalan mencari ilmu, Allah akan memudahkannya masuk surga.
- Menuntut ilmu adalah sebab seseorang mendapatkan hidayah. Hidayah inilah yang mengantarkan seseorang pada surga.
- Menuntut suatu ilmu akan mengantarkan pada ilmu lainnya yang dengan ilmu tersebut akan mengantarkan pada surga.
- Dengan ilmu, Allah akan memudahkan jalan yang nyata menuju surga yaitu saat melewati shirath (sesuatu yang terbentang di atas neraka menuju surga).
Bahkan Ibnu Rajab menyimpulkan, menuntut ilmu adalah jalan paling ringkas menuju surga.
Kewajiban menuntut ilmu ini mencakup seluruh individu Muslim dan Muslimah, baik dia sebagai orang tua, anak, karyawan, dosen, doktor, profesor, dan yang lainnya. Mereka wajib mengetahui ilmu yang berkaitan dengan muamalah mereka dengan Rabb-nya, baik tentang Tauhid, rukun Islam, rukun Iman, akhlak, adab, dan mu’amalah dengan makhluk.
Allah SWT berfirman:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.” (QS. Al-‘Alaq: 1)
Semoga bermanfaat.
