Bismillahirrahmanirrahim…
Saudara-saudara sekalian…
Kalau kita berbicara tentang Nahdlatul Ulama, maka kita sedang membicarakan sejarah panjang perjuangan umat Islam di bumi Nusantara. NU bukan hanya nama besar. Ia adalah gerakan kebangkitan. Lahir pada tanggal 16 Rajab 1344 Hijriyah, bertepatan dengan 31 Januari 1926, NU dibangun atas kegelisahan dan tanggung jawab besar para ulama—dipimpin oleh Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari—untuk menjaga kemurnian ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah, sekaligus melawan ketidakadilan dan penjajahan yang merongrong negeri ini.
Waktu itu, dunia Islam sedang gonjang-ganjing. Tradisi keilmuan diragukan, otoritas ulama ditantang, bahkan pusat-pusat Islam dunia saat itu sedang dilanda krisis. Di tengah situasi itu, para ulama Nusantara bangkit. Mereka mendirikan NU bukan sekadar untuk berdakwah, tapi untuk bergerak. Untuk berjuang.
NU tampil sebagai jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah—organisasi keagamaan sekaligus sosial. Di satu sisi, NU menjaga kitab kuning, pesantren, tarekat, dan warisan keilmuan salafus shalih. Tapi di sisi lain, NU juga hadir dalam denyut kehidupan rakyat. NU tidak pernah jauh dari sawah petani, dari pasar pedagang, dari rumah-rumah rakyat kecil. Inilah bukti, NU bukan hanya tempat berdzikir, tapi juga tempat berpikir dan bergerak.
Dan sejarah mencatat: Resolusi Jihad NU tahun 1945 bukan hanya fatwa. Itu seruan jihad melawan penjajah yang jadi bahan bakar perlawanan Surabaya 10 November. Para santri, para kiai, turun tangan mempertahankan kemerdekaan. Bahkan tak sedikit yang gugur sebagai syuhada.
Tapi zaman terus berubah.
Hari ini, tantangan kita bukan lagi meriam dan senapan, tapi intoleransi, polarisasi, dan penyempitan makna agama. Kita diuji bukan di medan perang, tapi di medan kebhinekaan.
Contohnya… Desa Jayamulya, Kabupaten Bekasi.
Beberapa waktu lalu, muncul penolakan dari sebagian masyarakat atas pembangunan rumah ibadah umat Nasrani. Muncul kegaduhan. Ada suara keras. Ada ketegangan sosial. Dan seperti biasa, media sosial menjadi pemantik emosi.
Lalu… bagaimana kita bersikap?
Sebagai warga NU, kita tidak diajarkan untuk reaktif. Kita tidak diajarkan untuk keras kepala atau main hakim sendiri. Kita diajarkan untuk tasamuh (toleransi), tawazun (seimbang), i’tidal (adil), dan hikmah (kebijaksanaan).
NU paham benar: negara ini berdiri atas dasar kesepakatan. Pancasila, UUD 1945, dan prinsip Bhinneka Tunggal Ika menjadi fondasi bersama. Maka dalam negara ini, semua warga negara—apa pun agama dan sukunya—punya hak yang sama dalam kehidupan berbangsa. Termasuk hak untuk beribadah sesuai keyakinannya.
Kalau ada umat lain ingin membangun tempat ibadah secara sah dan prosedural, maka itu bukan ancaman. Itu bukan musuh. Itu hak konstitusional. Selama tidak melanggar aturan, maka sebagai Nahdliyin—kita tidak boleh menghalangi.
Menolak rumah ibadah hanya karena berbeda keyakinan, itu bukan ajaran Islam. Nabi Muhammad SAW sendiri hidup berdampingan dengan Yahudi dan Nasrani di Madinah. Bahkan Nabi pernah bangkit berdiri menghormati jenazah non-Muslim yang lewat. Karena apa? Karena kemanusiaan. Karena adab.
Jadi jangan kita bawa nama Islam untuk menindas. Jangan kita bawa nama mayoritas untuk merampas hak minoritas. Yang benar tetap benar. Yang adil harus dijaga.
NU tidak pernah mengajarkan kebencian. Yang NU ajarkan adalah: rahmat, kesejukan, dan peradaban. Kita bisa berbeda, tanpa harus bermusuhan. Kita bisa menjaga akidah, tanpa harus menyakiti.
Mari, kita jaga marwah NU. Jaga warisan para masyayikh. Jangan biarkan emosi merusak akhlak kita. Jangan karena merasa mayoritas, lalu kita lupa adab.
Ingat… NU besar bukan karena banyaknya pengikut. Tapi karena keluhuran akhlak ulama dan komitmen untuk menjaga keutuhan negeri.
Semoga Allah SWT menjaga kita semua, dan semoga Desa Jayamulya bisa menjadi contoh kedewasaan dalam beragama, dan kematangan dalam hidup berbangsa.
Pertama-tama, kita harus luruskan duduk perkara ini dengan hati yang jernih, kepala yang dingin, dan ilmu yang cukup. Bahwa dalam negara yang berdasarkan hukum seperti Indonesia ini, tidak dibenarkan satu kelompok agama—apapun agamanya—mengklaim bahwa dirinya mewakili seluruh masyarakat, apalagi dalam urusan kenegaraan yang sifatnya menyangkut hajat hidup orang banyak.
Kalau ada pihak gereja yang mengatakan bahwa mereka mewakili suara masyarakat secara keseluruhan, maka itu perlu kita luruskan. Kita bukan sedang bicara soal keyakinan, tapi soal kewenangan dan representasi dalam ruang publik. Negara kita, alhamdulillāh, berdiri di atas prinsip hukum, bukan di atas klaim sepihak.
Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 22 ayat (1) jelas menyatakan:
“Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Ini artinya, setiap agama dihormati, tetapi tidak satu pun yang diberi hak istimewa untuk berbicara atas nama semua. Lebih tegas lagi, dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dikatakan:
“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Artinya, masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai macam unsur, dan tidak ada satu pun lembaga keagamaan—baik gereja, masjid, vihara, maupun pura—yang bisa mengklaim mewakili keseluruhan suara masyarakat kecuali melalui proses demokrasi yang sah: musyawarah, pemilu, dan mekanisme konstitusional.
Kita juga harus adil. Kalau ormas Islam yang mengatasnamakan seluruh masyarakat Indonesia itu saja kita kritisi, apalagi jika ada gereja yang mengklaim serupa. Tidak boleh ada standar ganda. Ini bukan soal mayoritas atau minoritas, ini soal adab bernegara.
Maka dari itu, sebagai warga negara yang mencintai kerukunan, kita serukan kepada semua pihak agar tidak membawa lembaga keagamaan sebagai kendaraan politik atau alat legitimasi kekuasaan. Ulama tidak boleh jadi alat, pendeta pun tidak pantas jadi corong politik kekuasaan.
Agama tugasnya membimbing umat, bukan mewakili mereka dalam perkara-perkara yang tak ada mandatnya. Yang mewakili masyarakat adalah wakil rakyat yang dipilih lewat jalur demokratis. Titik.
Sebagaimana kata para ulama: Man takallama fī ghayri fannihī ata bikharī—siapa yang berbicara bukan pada bidangnya, akan membawa kerusakan.
Semoga Allah menjaga negeri ini dari klaim-klaim sepihak yang menodai kesucian agama dan mengacaukan harmoni kehidupan berbangsa.
📌 DASAR HUKUM UTAMA:
- Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006
Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah. - Undang-Undang Dasar 1945
- Pasal 28E ayat (1) & (2): Kebebasan memeluk agama dan beribadah.
- Pasal 29 ayat (2): Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya.
- Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
SYARAT-SYARAT PENDIRIAN GEREJA
1. Jumlah Jemaat Tetap Minimal 90 Orang
📜 Dasar hukum: Pasal 14 huruf a Peraturan Bersama 2006
- Harus ada minimal 90 orang pengguna tetap rumah ibadah.
- Dibuktikan dengan daftar nama lengkap dan KTP domisili setempat.
📌 Tujuan: Menunjukkan kebutuhan nyata akan rumah ibadah di lokasi tersebut.
2. Dukungan dari 60 Penduduk Setempat
📜 Dasar hukum: Pasal 14 huruf b Peraturan Bersama 2006
- Harus ada dukungan tertulis dari minimal 60 orang warga masyarakat sekitar (bisa berbeda agama).
- Dibuktikan dengan tanda tangan dan fotokopi KTP.
📌 Tujuan: Menjamin adanya keharmonisan sosial dan dukungan lingkungan sekitar.
3. Rekomendasi Tertulis dari FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama)
📜 Dasar hukum: Pasal 14 huruf c Peraturan Bersama 2006
- FKUB melakukan verifikasi lapangan dan menilai apakah syarat formal & sosial terpenuhi.
- FKUB juga mempertimbangkan potensi konflik dan harmonisasi antarumat beragama.
📌 Tujuan: Menjadi perantara dialog lintas agama dan mencegah gesekan sosial.
4. Rekomendasi dari Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota
📜 Dasar hukum: Pasal 14 huruf d Peraturan Bersama 2006
- Kementerian Agama memberikan rekomendasi terkait aspek agama, kebutuhan ibadah, dan kesesuaian fungsi rumah ibadah.
📌 Tujuan: Memastikan kegiatan keagamaan sesuai dengan norma dan aturan agama yang diakui.
5. Izin Pendirian dari Pemerintah Daerah
📜 Dasar hukum: Pasal 13 dan 14 Peraturan Bersama 2006
- Permohonan diajukan ke bupati/wali kota melalui camat dan kepala desa/lurah.
- Pemerintah daerah memeriksa semua persyaratan dan kesesuaian lokasi dengan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah).
📌 Tujuan: Menyesuaikan dengan perencanaan tata kota dan peraturan daerah.
6. Memenuhi Persyaratan Bangunan Gedung
📜 Dasar hukum: UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
- Gereja sebagai bangunan publik harus memenuhi standar:
- Keselamatan struktur.
- Fasilitas umum.
- Akses darurat.
- Legalitas kepemilikan lahan.
- IMB (saat ini: Persetujuan Bangunan Gedung / PBG).
📌 Tujuan: Menjamin kelayakan, keamanan, dan legalitas bangunan.
CATATAN TAMBAHAN
- Jika syarat tidak terpenuhi, ibadah tetap boleh dilakukan secara terbatas di rumah tinggal atau tempat lain.
- FKUB dan pemerintah daerah wajib membantu mencarikan solusi alternatif jika ada kesulitan dalam pendirian rumah ibadah.
Kesimpulan:
Pendirian gereja di Indonesia diperbolehkan dan dijamin konstitusi, tetapi harus memenuhi syarat administratif, sosial, dan teknis sebagaimana diatur dalam Peraturan Bersama 2006 dan UU Bangunan Gedung. Tujuannya adalah untuk menjaga kerukunan antarumat beragama dan memastikan bahwa rumah ibadah memang dibutuhkan dan tidak menimbulkan konflik.
Wallāhu a‘lam bis-shawāb.
Ibnu Rifai, S.Kom