Beranda Berita Mama Cibogo Ulama Pejuang Hizbullah Fi Sabilillah Pra Kemerdekaan Yang Tersembunyi

Mama Cibogo Ulama Pejuang Hizbullah Fi Sabilillah Pra Kemerdekaan Yang Tersembunyi

15
0

Cibarusah, Bekasi – Malam Jum’at akhir di bulan Muharram 1447 H kembali menjadi momentum penuh khidmat bagi keluarga besar Pesantren Al-Baqiyatus Sholihat, Kampung Cibogo, Cibarusah, Kabupaten Bekasi. Haul Almaghfurlah Mama KHR. Ma’mun Nawawi—ulama besar ahli falak dan pendiri pesantren tersebut—kali ini digelar lebih istimewa. Tidak hanya satu malam seperti tahun-tahun sebelumnya, rangkaian haul digelar selama tiga malam berturut-turut.

Dua malam pertama, yakni malam Jum’at dan malam Sabtu diisi dengan Khotmul Qur’an oleh para santri dan alumni, sebagai bentuk tawassul dan rasa cinta pada sang muassis. Puncak haul dilangsungkan pada malam Ahad, yang diisi dengan Tabligh Akbar menghadirkan para ulama, habaib, dan tokoh masyarakat dari berbagai daerah.

Haul ini tidak hanya menjadi ajang silaturahmi dan do’a bersama, tetapi juga menjadi refleksi atas keteladanan sosok ulama yang berjasa besar dalam pengembangan keilmuan Islam, khususnya ilmu falak, di Tatar Pasundan.

Siapa Sosok Mama KHR. Ma’mun Nawawi..?

KH Raden Ma’mun Nawawi atau lebih dikenal sebagai Mama Cibogo, adalah ulama kharismatik yang lahir pada Kamis, 1330 H (1912 M) dari pasangan KH Raden Anwar dan Nyai Hj Romlah. Beliau adalah keturunan ke-24 dari Rasulullah SAW melalui jalur Sunan Gunung Djati, tokoh sentral Islamisasi di Tanah Sunda.

Sejak kecil, Mama Cibogo sudah menunjukkan ketekunan luar biasa dalam belajar. Ia berguru langsung kepada ayahnya, lalu melanjutkan ke pesantren-pesantren ternama seperti Pesantren Plered Purwakarta (Mama Sempur), Mekkah (Sayyid Alwi Al-Maliki, Syekh Mukhtar al-Bughuri), serta ulama-ulama besar Indonesia seperti KH Hasyim Asy’ari (Tebuireng), KH Mahfudz Termas, dan Guru Mansur (Jembatan Lima, Jakarta), yang menjadikannya sebagai salah satu murid tercerdas.

Kiprah dan Warisan Intelektual

Mama Cibogo tidak hanya dikenal sebagai ahli falak, tetapi juga penulis produktif. Beliau telah menulis lebih dari 60 karya, banyak di antaranya menggunakan aksara Arab berbahasa Sunda. Di antara karya terkenalnya adalah Hikayat al-Mutaqaddimin, Risalah Zakat, Kasyf al-Humum wal Ghumum, Syair Qiyamat, dan Risalah Syurb ad-Dukhan. Karya-karyanya menjadi rujukan penting dalam keilmuan falak, fikih, dan tasawuf.

Dalam perjuangannya membangun Pesantren Al-Baqiyatus Sholihat sejak tahun 1938, beliau juga dikenal sebagai pengusaha yang mandiri. Untuk membiayai pesantren, beliau menjual kitab, kecap, hingga jamu racikan sendiri. Pesantren ini bahkan sempat dijadikan tempat pelatihan Laskar Hizbullah pada 1945 menjelang proklamasi kemerdekaan.

Kedekatan dengan Ulama Betawi dan Jawara Banten

Mama Cibogo menjalin hubungan erat dengan ulama-ulama Betawi seperti Habib Ali Kwitang, Habib Usman, dan Guru Mansur. Ia juga dekat dengan kalangan jawara Banten seperti Abah Ghozali Guntung, muridnya yang dikenal luas di wilayah barat Jawa.

Keistimewaan beliau diakui oleh KH Hasyim Asy’ari, yang konon menyembelih seekor sapi sebagai bentuk syukur karena memiliki murid secerdas beliau. Julukan “Ahli Falak Nusantara” melekat kuat karena Mama Cibogo menjadi rujukan dalam penentuan awal Ramadhan dan Syawal, hingga kalender pertanian di Bekasi, Bogor, Banten, dan Jakarta.

Khidmat hingga Akhir Hayat

Di masa tuanya, Mama Cibogo tetap aktif mengajar. Ia membuka pengajian mingguan untuk berbagai kalangan: kiai, ibu-ibu, lansia, dan masyarakat umum. Sosoknya yang rendah hati dan istiqamah menjadikan beliau figur yang dicintai. Ia wafat pada 26 Muharram 1395 H atau 7 Februari 1975 dalam usia 63 tahun, dan dishalatkan langsung oleh KH Noer Ali, ulama pejuang dari Bekasi.


Warisan Tak Ternilai

Haul Mama KHR. Ma’mun Nawawi bukan sekadar peringatan tahunan, tetapi momentum untuk meneladani warisan ilmu, keikhlasan perjuangan, dan komitmen kebangsaan. Di tengah derasnya arus zaman, sosok Mama Cibogo tetap relevan sebagai panutan—bagi santri, ulama, dan masyarakat luas.

Sebagaimana pesan para ulama:
“Ulama adalah pelita zaman. Saat mereka wafat, maka lenyaplah cahaya ilmu kecuali jika kita terus menyalakannya.”

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini