Sering kali, kita terjebak dalam fanatisme terhadap individu atau kelompok yang kita anggap paling benar. Kecintaan yang berlebihan ini secara tidak sadar mengaburkan objektivitas kita, bahkan menumpulkan daya kritis dalam menilai sesuatu secara jernih dan adil.
Ketika suatu kelompok melakukan kesalahan, pihak yang berseberangan akan membesar-besarkannya. Kesalahan tersebut tak jarang didramatisasi melalui narasi-narasi hiperbolik demi menggiring opini publik agar berpihak kepada kelompoknya. Sebaliknya, ketika kesalahan datang dari kelompok sendiri, sering kali justru didiamkan. Bahkan, berbagai narasi pembelaan lengkap dengan argumentasi pun dikonstruksi untuk menutupi atau membenarkan kekeliruan tersebut.
Semua ini dilakukan demi menarik simpati publik sebanyak-banyaknya, khususnya dari kelompok massa mengambang yang belum memiliki keberpihakan yang jelas.
Ambil contoh dalam kasus Fuad Plered. Ketika ia mengeluarkan pernyataan yang sangat tidak pantas, pihak-pihak yang satu barisan dengannya cenderung diam. Tidak ada suara tegas untuk menegur, apalagi mengkritik secara terbuka. Namun, di sisi lain, pihak yang mendukung klan Ba’alwi justru menjadikan pernyataan Fuad sebagai senjata untuk menyerang balik lawan-lawan mereka. Ucapan tersebut digeneralisasi seolah-olah mencerminkan akhlak semua pihak yang menentang mereka.
Padahal, jika kita ingin jujur, tokoh-tokoh dari kubu lain seperti Rizieq Shihab dan Bahar Smith pun memiliki jejak rekam pernyataan yang jauh lebih kasar, vulgar, dan brutal—bukan hanya sekali, melainkan berulang kali di berbagai kesempatan. Tapi karena mereka berasal dari kelompok “sendiri”, kesalahan itu dianggap wajar, bahkan kerap dibela.
Lalu, apa sebenarnya perbedaannya?
Pada akhirnya, fanatisme yang membutakan dan kebencian yang membara terhadap pihak lawan tidak membawa kita pada tegaknya keadilan, justru sebaliknya—ia menjadi penghalang utama bagi terciptanya masyarakat yang adil dan beradab.
Nabi Muhammad ﷺ pun telah mengingatkan dalam sebuah hadits: janganlah mencintai atau membenci secara berlebihan. Bisa jadi, orang atau kelompok yang hari ini kita cintai, suatu saat berubah menjadi yang paling kita benci. Begitu pun sebaliknya.
Maka, menjadi objektif dan adil dalam menilai segala hal adalah sikap yang harus terus kita perjuangkan, dalam rangka menegakkan keadilan dan kesetaraan bagi seluruh manusia. Mungkin kita tak sempat menyaksikan hasilnya dalam hidup ini, mungkin pula perjuangan itu tampak seperti utopia. Bahkan tak menutup kemungkinan, kita sendiri tanpa sadar terjebak dalam fanatisme yang kita kritik.
Namun, selama masih ada kesadaran akan pentingnya masa depan yang lebih baik bagi anak dan cucu kita, perjuangan ini tetap layak untuk dilanjutkan—dengan keikhlasan, ketekunan, dan nalar yang jernih.
Naskah ini disunting oleh Ibnu Rifai,S.Kom adapun naskah asli bisa dibaca di https://nubekasi.or.id/fanatisme-buta/