Beranda Quotes Masa Depan Naik Haji Yang Mengkhawatirkan Dan Membaca Ulang Pemikiran Kyai Masdar...

Masa Depan Naik Haji Yang Mengkhawatirkan Dan Membaca Ulang Pemikiran Kyai Masdar Tentang Perluasan Waktu Haji

93
0
Mochamad Subhan menyampaikan gagasan soal masa depan haji di www.sahabatedu.com

Oleh : H. Mochamad Subhan, S.Pd.I., M.Hum.

Seorang pendidik, pemikir, dan aktivis organisasi keislaman yang aktif dalam pengembangan pendidikan dan dakwah di Jakarta.

Berpengalaman dalam dunia madrasah serta memiliki kepedulian tinggi terhadap penguatan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah di tengah masyarakat urban.

Masa depan naik haji yang mengkhawatirkan

Salat Jumat pada 16 Mei 2025 menjadi momen penting bagi jemaah haji yang telah tiba di Kota Suci Makkah sejak 10 Mei 2025. Diperkirakan jumlah jemaah akan semakin membludak, mengingat salat Jumat merupakan salah satu momen utama yang menarik kehadiran jemaah dari berbagai negara yang telah berada di Makkah.

Kepala Daerah Kerja (Daker) Mekah PPIH Arab Saudi, Ali Machzumi, mengimbau para jemaah untuk mengatur waktu keberangkatan dan kepulangan dengan sebaik mungkin guna mendukung pelaksanaan ibadah yang tertib dan nyaman. Ia merekomendasikan agar jemaah berangkat 1–2 jam sebelum waktu salat, agar perjalanan menuju lokasi ibadah dapat dilakukan dengan tenang tanpa terburu-buru. Selain itu, jemaah juga diingatkan untuk tiba di tempat ibadah sebelum pukul 10.00 WAS, serta menunda kepulangan hingga setelah pukul 14.00 WAS, sebagai langkah antisipasi terhadap potensi keramaian dan suhu panas yang cukup ekstrem.


Belum lama ini, muncul kabar yang seharusnya menimbulkan kekhawatiran di kalangan umat Islam di seluruh dunia. Meski bukan informasi baru, isu ini menjadi semakin relevan karena berkaitan langsung dengan pusat pelaksanaan ibadah haji. Para jemaah haji diperkirakan akan menghadapi kondisi cuaca yang sangat ekstrem, yang berpotensi mengancam keselamatan jiwa.

Dalam sebuah artikel ilmiah yang dipublikasikan di jurnal Geophysical Review Letters, para peneliti dari MIT mengungkapkan hasil penelitian mereka mengenai risiko-risiko serius yang mungkin dihadapi oleh jemaah haji di masa mendatang. Mulai tahun 2020, musim panas di Arab Saudi diperkirakan akan melewati ambang batas toleransi tubuh manusia, di mana suhu tinggi yang dikombinasikan dengan kelembaban udara menyebabkan tubuh tidak mampu melakukan proses pendinginan secara alami melalui penguapan keringat. Kondisi ini dapat menyebabkan heatstroke yang berakibat fatal bagi jemaah.

Risiko tersebut akan menjadi lebih parah ketika ibadah haji berlangsung pada puncak musim panas antara tahun 2047 hingga 2052, serta dari 2079 sampai 2086. Para peneliti memperkirakan tingkat panas dan kelembaban akan meningkat sebesar 6% pada 2020, naik menjadi 20% antara 2045–2053, dan melonjak hingga 42% pada periode 2079–2086.

Ancaman ini tetap ada meskipun berbagai upaya mitigasi perubahan iklim telah dilakukan. Bahkan, jika tidak ada langkah signifikan diambil, dampaknya akan jauh lebih buruk. Simulasi yang dilakukan menunjukkan bahwa baik dengan penanganan maupun tanpa intervensi, risiko tetap tinggi. Bila tidak ada tindakan apa pun, maka kondisi yang akan dihadapi jemaah di masa depan bisa menjadi sangat ekstrem. Peringatan tentang bahaya cuaca ekstrem ini sebenarnya telah muncul sebelumnya, seperti pada musim haji tahun 1990 dan 2015, ketika ratusan jemaah meninggal akibat kondisi cuaca yang ekstrem.

Kenyataannya, perubahan iklim memang sedang berlangsung. Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2018 mencatat bahwa aktivitas manusia telah menyebabkan kenaikan suhu global sebesar satu derajat Celcius pada 2017, dan suhu tersebut terus meningkat sekitar 0,2 derajat setiap tahunnya. Jika tren ini berlanjut, ambang batas kenaikan suhu 1,5 derajat Celcius akan terlampaui sekitar tahun 2040.


Tidak sampai disitu, problematika penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia mencakup berbagai aspek yang perlu mendapat perhatian serius. Salah satu tantangan utama adalah lamanya antrian pendaftaran, yang disebabkan oleh tingginya jumlah calon jemaah dibandingkan dengan kuota yang tersedia setiap tahunnya. Selain itu, risiko kesehatan, khususnya akibat paparan cuaca panas ekstrem di Arab Saudi, menjadi isu krusial, terutama bagi jemaah lanjut usia yang lebih rentan terhadap gangguan kesehatan. Aspek lain yang tak kalah penting adalah permasalahan hukum dan syariat, seperti pelanggaran terhadap ketentuan ihram, yang dapat berdampak pada keabsahan ibadah haji. Oleh karena itu, pemahaman yang memadai terhadap tata cara dan aturan pelaksanaan haji menjadi sangat penting untuk menjamin kelancaran dan kesempurnaan ibadah.


Membaca Ulang Pemikiran Kyai Masdar

Keberanian intelektual yang lahir dari kedalaman ilmu tampak nyata pada sosok KH. Masdar Farid Mas’udi. Ulama yang pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI dan Rais Syuriyah PBNU ini dikenal luas atas pemikiran progresifnya, termasuk gagasan memperluas waktu pelaksanaan haji menjadi tiga bulan. Gagasan tersebut sempat kembali mencuat saat pandemi Covid-19 melanda, dan kini kembali dibicarakan di media Arab.

Dengan merujuk pada dalil syar’i serta kondisi riil umat, KH. Masdar mendorong para ulama dan pemegang kebijakan untuk meninjau ulang praktik haji dan memahami waktu pelaksanaannya sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Masyarakat Muslim Indonesia yang moderat dinilai lebih terbuka dalam menerima pembaruan pemikiran seperti ini.

Setelah dibahas dalam berbagai forum akademik dan keulamaan di Indonesia—seperti PBNU dan UNISMA—ide ini mulai mendapat perhatian internasional. Pada 19 November 2021, tulisan terkait gagasan KH. Masdar dimuat dalam koran Arab Sudan, dan direncanakan akan dibahas oleh Majma’ Fikih Sudan pada Juli 2022. Seorang pakar ushul fiqh asal Sudan, Prof. Khalifah Babiker Alhasan, menyambut gagasan tersebut secara positif. Ia menyebutnya sebagai ijtihad yang mendalam dan layak disebarluaskan di berbagai media.

Prof. Babiker—yang juga dikenal sebagai Ketua Tim Penulis Ensiklopedi Kaidah Fikih dan Ushul (41 jilid)—berharap diskusi tentang perluasan waktu haji dilakukan secara ilmiah, tanpa dibayangi fanatisme. Harapan serupa juga disampaikan oleh Ketua Umum PBNU, KH. Yahya Cholil Staquf. Menurutnya, perluasan waktu haji ke bulan Syawwal, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah sebagaimana termaktub dalam QS. Al-Baqarah ayat 197 dapat menjadi solusi konkrit atas masalah antrian panjang.

Jika ide ini diterima oleh otoritas keagamaan dan akademik secara luas, maka pelaksanaan ibadah haji bisa dilakukan secara bergelombang. Hal ini akan memberi kesempatan bagi jutaan umat Islam untuk berhaji tanpa harus menunggu puluhan tahun. Dalam artikelnya, KH. Masdar memaparkan dasar-dasar keilmuannya dengan rinci, yang kemudian diapresiasi tidak hanya oleh para akademisi, tetapi juga oleh masyarakat umum yang kini merasa lebih memahami urgensi gagasan tersebut.

Kondisi pandemi yang membatasi kuota haji tahun 2021 menjadi momentum refleksi: hanya 60 ribu jamaah dari dalam negeri yang diizinkan berhaji. Sementara itu, antrian haji di beberapa negara seperti Malaysia sudah mencapai 104 tahun, dan di sejumlah provinsi Indonesia bahkan lebih dari 80 tahun. Ini menunjukkan bahwa solusi dari KH. Masdar patut dipertimbangkan serius demi kemaslahatan umat secara global.


Istinbath al Ahkam Kyai Masdar

Proses penemuan hukum dan usulan perluasan waktu pelaksanaan haji oleh Kyai Masdar dilakukan melalui metode thariqatul istinbath, yaitu penggalian hukum dengan menggabungkan seluruh nash (teks) terkait waktu haji. Pendekatan ini juga mempertimbangkan hikmah tasyri’—kearifan legislatif—dalam menghadapi perubahan ruang dan waktu yang signifikan, sehingga memerlukan peninjauan ulang terhadap waktu haji.

Kondisi nyata saat ini menunjukkan ledakan jumlah jamaah haji yang berdampak pada berbagai aspek, seperti keselamatan jamaah, rasa solidaritas antar umat, keaslian tempat-tempat suci (masya’ir) yang diwariskan oleh Nabi, antrian panjang keberangkatan, hingga munculnya potensi praktik suap (risywah) untuk mendapatkan kuota haji. Apalagi ditambah dengan pandemi Covid-19 yang belum selesai, semakin memperparah panjangnya antrean haji hingga bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun.

Menurut Kyai Masdar, kondisi kompleks ini belum pernah terpikirkan saat fiqh haji dirumuskan beberapa ratus hingga seribu tahun lalu. Oleh karena itu, sudah sewajarnya ulama masa kini menegaskan kembali makna dan status hadits tentang wukuf di Arafah. Ini bukan berarti para ulama terdahulu tidak mampu berijtihad, melainkan karena persoalan yang ada pada zaman sekarang memang belum muncul saat itu.

Kyai Masdar menafsirkan Al-hajju Arafah sebagai penunjuk tempat wukuf, bukan waktu wukuf. Sehingga terjemahan tepat hadits tersebut adalah “Haji itu di padang Arafah,” sementara waktu pelaksanaan wukuf pada hari Arafah merupakan waktu yang istimewa atau afdhal.

Jauh sebelum pandemi, pada tahun 1990-an Kyai Masdar sudah mulai mengangkat persoalan besar ini, meski gagasannya belum dikenal luas. Di tahun 2010, seorang penulis Mesir bernama Jamal Al-Banna, adik dari pendiri Ikhwanul Muslimin Hasan Al-Banna, mengulas bahaya akibat ledakan jumlah jamaah haji dalam sebuah opini online dan mengapresiasi gagasan Kyai Masdar.

Jamal Al-Banna mengaku menerima tulisan tentang pemikiran Kyai Masdar dari beberapa koleganya di Saudi Arabia. Ia juga menyebut ada sejumlah peneliti Mesir yang menulis soal waktu pelaksanaan haji, namun gagasan mereka tidak tersebar luas karena dianggap berbeda dari ajaran umum. Menurutnya, pemikiran para peneliti Mesir tersebut masih parsial dan tidak menyeluruh, berbeda dengan gagasan Kyai Masdar yang solutif dan membangkitkan kesadaran sejarah umat Islam.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini